Malammalam kutelan temaram
Di pojokan kota yang sedang sibuk berdandan
Malammalam kukunyah rembulan
Di antara kecoa kakus dan kepik yang begadang
Malammalam kumakan neonneonan
Lihat! aku menyala…
Seperti kunangkunang
Perempuan
Techno
Klab malam
Penggoda iman
*****
Pak Djatun pemilik warung Indomie di Kemang Selatan itu buka dua puluh empat jam. Dari ceritanya baru aku tahu kalau dia sebenarnya kepala kesatuan pengaman di sana. Makanya dia membuka warung Indomie, sekaligus untuk mengawasi anak buahnya mengamani kompleks orang kaya yang rawan maling dan banjir itu.
Sejak penuturannya itu, aku jadi lebih berhati-hati bicara padanya. Aku bilang Ana yang sekarang sudah pergi meninggalkanku, adalah istriku yang sedang pulang kampung. Aku putuskan untuk bicara begitu setelah dia menceritakan pengalamannya menggerebek pasangan kumpul kebo.
Lalu aku mulai berpikir dan bertanya dalam hati, apa sih yang disebut kumpul kebo? Sedangkan Ana dan aku saat itu sudah tinggal seatap dan rutin setiap hari bermain cinta. Lalu aku sadar, aku dan Ana memang sudah masuk hitungan kumpul kebo.
*****
Masakan Indomie Pak Djatun tidak terlalu enak. Bahkan bisa dibilang tidak enak. Tapi kala malam tiba dan insomnia menyerang, Pak Djatun adalah satu-satunya solusiku. Karena perutku harus diisi. Agar tubuh bisa bertahan hingga pagi.
Ya, aku makan hanya untuk bertahan hidup. Aku memang sudah tidak bisa menikmati makan sejak beberapa bulan terakhir. Sejak aku mengidap insomnia yang bisa dibilang akut. Aku baru bisa memejamkan mata pukul delapan pagi. Sedangkan pukul sepuluh aku sudah harus tiba di kantor. Memang kantorku hanya berjarak kurang lebih 200 meter dari kontrakanku. Tapi tetap saja tidur dua jam jelas tidak sehat untukku.
Semua itu bermula ketika Ana pergi dari hidupku. Sejak itu aku seperti kehilangan alasan untuk tetap bertahan hidup. Aku benar-benar hancur. Belum lagi aku juga mengambil kerja malam. Jadi begitu kerjaan harianku selesai, aku berangkat lagi ke kantor lain untuk mencari tambahan.
Aku selalu berharap menenggelamkan diri dalam pekerjaan akan sedikit demi sedikit menghapus Ana dari hidupku.
Nyatanya tidak.
Aku malah tidak konsentrasi bekerja. Setiap malam lewat aku ditemani dengan lamunan tentang Ana. Lalu biasanya pada pukul tiga pagi, perutku akan berontak minta diisi. Saat itulah Pak Djatun menyelamatkanku.
Menyambung hidupku.
*****
Malam itu Pak Djatun kedatangan tamu. Dia adalah mantan satuan pengaman, kawan Pak Djatun kala muda dulu. Sekarang dia menjadi makelar tanah. Lalu mereka bercerita bahwa tanah tempat bangunan kontrakkanku berdiri adalah tanah sengketa. Tentu saja aku jadi ikut tertarik dan nimbrung dengan obrolan mereka.
“Pak Mudji pemilik kontrakan kamu itu tadinya cuma pedagang minyak keliling. Lalu pelan-pelan dia membangun rumah dari papan di sana. Dulu itu adalah tanah kosong. Milik Ibu Utami.”
Pak Djatun memulai obrolan kami yang sekarang menjadi obrolan bertiga, sejak aku putuskan untuk bergabung. Lalu temannya menimpali.
“Tapi lalu Bu Tami mengikhlaskan tanahnya di gunakan Pak Mudji. Pak Mudji yang asli Sukabumi lalu ngelunjak. Dia mulai membangun secara permanen, ditembok, dan dikeramik. Bahkan perlahan rumahnya semakin besar.”
Kini giliran Pak Djatun semangat ingin bergunjing. Dia lalu meneruskan pernyataan temannya itu.
“Bu Tami pernah memberikan peringatan. Tapi Pak Mudji dengan mantunya yang mantan preman pasar Blok A itu malah melawan dan mengeluarkan sertifikat palsu dengan bantuan Pak Lurah yang ternyata sekampung dengan Pak Mudji.
Bu Tami kalah di pengadilan dan malahan dia yang dituduh memalsukan sertifikat tanah.
Aku waktu itu menjadi saksi untuk Bu Tami. Malamnya rumahku didatangi para preman dan memaksaku untuk memberikan kesaksian palsu. Kasihan Bu Tami.
Tapi aku ingin tetap hidup.”
Alasan Pak Djatun untuk tetap hidup hampir sama dengan alasanku makan Indomie tidak enak buatannya.
Aku kecewa pada Pak Djatun.
*****
Sejak saat aku mendengar penuturannya itu aku jarang mampir ke warungnya lagi. Aku lebih banyak menghabiskan malam berloncatan dari satu klab malam ke klab malam lainnya.
Bahkan aku pernah menyangkut di sebuah klab techno di kota yang memainkan musik ecek-ecek seperti remix Sheila on 7-lah, remix Padi-lah, aku tak peduli. Asal aku tak sendiri menyaksikan lampu kota perlahan mulai mati.
*****
Lalu aku bertemu dia. Sang Pekerja Seks Komersil yang konon kabarnya langsung diimpor dari Beijing. Dia bahkan tidak bisa bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Kami hanya berbicara dalam bahasa malam.
Biasanya dia datang ke mejaku lepas dia melayani semua tamunya. Sekitar jam tiga malam. Dan biasanya jam segitu dompet dia sudah berisi tebal dengan hasil uang yang sudah di pajak mucikari-nya.
Dia memang cantik. Kini ia sedang menaikiku. Aku sudah seperti sepeda kumbangnya. Dia tertawa riang bisa bebas mengendarai sepeda kumbangnya selama dia mau. Akupun senang.
Seks gratis, siapa yang tak mau?
Dia juga membelanjakanku Vodka dengan campuran juice orange dan Whiskey dengan campuran cola yang bergantian selalu menjadi peneman kami bercinta di kamar kosannya yang berbau hio itu.
*****
Suatu malam aku tidak bisa menemukan Pekerja Seks Komersil Beijing-ku di tempat biasa.
Sial, aku tak pernah tahu namanya.
Malam itu kondom ekstra aman tetap tak beranjak dari kantongku.
Seorang pelayan menghampiriku dan berkata bahwa si perempuan Beijing terjaring sebuah operasi malam yang di gelar Polres Jakbar.
Operasi Pekat.
Penyakit Masyarakat, tulis surat kabar yang kubaca keesokan harinya.
*****
Malam berikutnya aku kembali ke warung Indomie Pak Djatun.
“Terus sekarang Bu Tami di mana, pak?”
+Ciawi 2-Januari-2007
Diinspirasi dan mengutip lagu ‘Malammalam Kutelan Temaram’ dari band The Safari album ‘Material Dansa Galau’-Paviliun Records.
Edo Wallad adalah seorang penulis yang tinggal di Jakarta. Pernah jadi editor di beberapa majalah seperti a+, soap, dan market+. Puisinya pernah masuk buku antologi puisi Dian Sastro for President! #2: Reloaded (Bentang Budaya dan Akademi Kebudayaan Yogyakarta, 2003) dan Antologi Puisi Bungamatahari (Avatar Press, 2005). Pernah jadi kolomnis tetap di majalah area, dan jadi kontributor di majalah Juice, Nylon, dan Gadis. Sekarang tulisannya dapat dibaca di majalah Dewi, jurnal Pop Teori dan blog pribadinya.
Foto oleh Ratri Ninditya